Gajah Mada

Sang Pemersatu Bangsa

Rabu, 18 November 2009

Senin, 16 November 2009

PUISINYA PROSA ATAWA PROSANYA PUISI


puisinya prosa atawa prosanya puisi

kerinduan pada absurditas manusia
(orang waras dilarang baca, ini konsumsi orang setengah gila yang nggak punya kerjaan)



oleh Renny Masmada


Aku terbaring kaku, mati suri. Bukan, cuma terlentang menatap langit.

Langit ngomong semaunya. Aku pecundang, dan untaian gambar terus berputar dengan durasi yang tak lagi sempat kuhitung.


Kerlip bintang sesekali memberikan jedah pada langit yang malam ini betapa sombong mempermainkan kegalauan di hatiku.


Kecengengan yang katanya punya muatan strategis bagi orang yang sedang gundah bukan lagi ukuran. Aku bingung memberi makna pada kecengengan yang sangat identik dengan perilaku kekanak-kanakan.


Namun, bulan yang rada linglung mencoba memberikan inspirasi tentang rentanya malam dengan usia yang setara dengan pembentukan ‘nur Muhammad’, manusia super yang sangat bersahaja itu.


Kata buku suci, nur berarti cahaya. Dan ketika cahaya muncul, gelap lari terbirit-birit, yang tinggal gelapnya bayangan, yang selalu berusaha berdiri bersebrangan dengan cahaya.


Bayangan mulai memainkan peran, memfotocopy perspektif bentuk dengan irama silhuet.
Walau berdiri bersebrangan, bayangan paling tidak, berhasil hidup berdampingan dengan cahaya.

Pertanyaannya, mana lebih dulu hadir bayangan apa cahaya? Kata orang, cahaya dulu baru bayangan. Seratus.


Namun, mungkinkah ada cahaya tanpa bayangan?


Ketika bulan kemudian berbagi tugas dengan matahari, syarat pertama yang diajukannya adalah matahari mau memberikan sinarnya pada bulan, agar wajah bulan jadi licin, padahal gradakan, kagak mulus.


Matahari setuju dengan catatan, hanya separo wajah bulan diberikan sinarnya, separonya lagi bayangan. Edan. Lagi-lagi bayangan. Deal. Bravo!


Tapi gilanya, bulan yang dendam cuma dikasih separo, memberikan cahaya pantulannya juga separo.
Kita kebagian separo.

Kenapa sih kita kalau dibagi sesuatu selalu nggak pernah seluruhnya? Selalu separo.
Orang tua, separo-separo, kenapa nggak satu aja? Kenapa harus ada ibu dan bapak? Kuping separo-separo. Separo di kanan separo di kiri. Sekalinya dikasih satu, hidung, eh lubangnya masih di-paro juga, kiri, kanan. Mulut juga begitu, bibir atas, bibir bawah. Bibir bawah? Ah …., kenapa selalu muncul pertanyaan yang rada-rada meleset? Kita nggak lagi ngedagel, memelesetkan sesuatu.

Separo. Ya separo adalah taqdir kita. Kita cuma dapat separo.


Kalau suatu ketika kita merasa dapat utuh, maksudnya nggak paro-an, kudu hati-hati dan mawas diri, sebentar lagi pasti di-paro oleh taqdir.
Karena separo itulah kita menjadi sempurna. Uang tidak pernah ada kalau tidak diparo. Separo yang kiri, separo yang kanan. Kalau separo yang kiri dipindahkan ke kanan, artinya yang kiri dikosongkan, alhasil jangan coba-coba belanja. Nggak ditabokin orang sekampung udah bagus.

Separo dari bumi kita isinya air, mungkin lebih banyak, tapi anggaplah separo. Nah, bisa bayangin nggak kalau bumi kita isinya air doang, atau sebaliknya? Beol repot. Masa tiap hari cebok pake batu kerikil? Nggak ngebayangin kalau ingus kita keluarnya kacang sukro. Kencing kita keluarnya pepsodent. Ayo…?!


Nah, ternyata separo memang taqdir.


Aku pusing mikirin, bangun, duduk, memeluk dengkul. Padahal udara nggak begitu dingin. Ini kebiasaan.


Kebiasaan tidak boleh dianalogikan, dibahas, nanti jadi kacau. Misalnya kebiasaan bilang masak nasi, kan analoginya jadi bubur. Tapi kalau kita ngomong masak beras, orang bilang kita kebangetan goblok.


Kebiasaan ngomong seenaknya: “Mo kemana lo?” Dijawab “Kampus.” Kita rubah dengan, “Hendak kemanakah engkau pergi?” Dijawab, “Aku hendak pergi ke kampus menuntut ilmu.” Bisa-bisa orang bilang kita kesurupan bintang sinetron.


Nah, kebiasaan, kalau sudah jadi tradisi, paling sulit dirubah.


Kalau kita terbiasa bohong pada diri kita, suatu ketika kita berpakaian seenaknya, misalnya pake sarung sama kaos oblong yang rada bluek, nggak dandan, mau bibir pucat kek, mata belekan kek, pipi kagak bedakan kek, pasti jadi beban.


Kebiasaan menampilkan yang terbaik pada diri kita, nggak perduli kita bohongin orang, menjadi beban yang sangat berat.


Biar dibilang badan kita kayak para dewa-dewi, sebotol parfum kita semprotin habis di sekujur badan kita, padahal aslinya, kita lebih bau dari kerbo.
Biar dibilang hidung kita mancung, mata kita bercahaya, pipi kita selicin kaca, kulit kita semulus susu, seperangkat make-up berjejer di depan kaca rias kita.

Yuk, rame-rame kita permak diri kita untuk menjadi bukan kita.


Yuk, kita bohongin orang-orang kalo kita aslinya pesek, bluek, rambutnya kayak ijuk, jari kita jempol semua.


Hai manusia, sekeren atau sejelek apapun kita, bukan kita yang desain. Tuh yang ada di atas yang punya kelakuan.


Pasrah saja hai umat yang pinter keblinger. Lebih baik perbanyak syukur sama yang desain kita. Coba kalau hidung kita didisain kayak ikan julung-julung gimana? Badan kita didisain kayak sapi gimana? Siap aja tahun depan dijadiin hewan qurban, diplastikin, dibagiin fakir miskin. Ayo?


Kusulut sebatang Djie Sam Soe-ku. Serupuuuuut. Asap bergulung-gulung di paru-paruku, kuhembuskan keluar.
Asap berebutan keluar dari mulut dan hidungku. Sebagian yang lain nggak kebagian keluar, nempel di paru-paruku, yang beberapa tahun kemudian membuatku sesak nafas, mati. Ah, itu kan teori. Yang nggak ngerokok aja pada mati muda. Kenapa kita takut mati muda? Hidup saja nggak kita rekayasa. Jadi begitu saja. Hei Renny, hiduplah kamu. Maka aku hidup. Tersenyum, cekikikan, nangis, pusing, rindu, nyombong, nyantun, ngapusi, bercinta dan macam-macam. Setelah hidup, kita merasa memiliki segalanya. Kalau perlu dunia ini semua milik kita. Kita terlalu kemaruk. Serakah. Mau memiliki segalanya.

Apa iya?


Taqdir sih yang nulis kalo manusia memang punya watak serakah, mau menang sendiri. Padahal seujung upil saja bukan punyanya. Kalau punyanya, miliknya kenapa dibuang? Simpan dong. Kali aja jadi batu permata. ‘Mayan ‘kan dilelang di Christy.


Uh.., boro-boro ngelelang upil yang jadi permata, ngelelang dirinya sendiri aja nggak mampu! Kagak laku dijual. Paling disewa.


Kita ‘kan bisanya cuma ngomong doang. Itu juga seenaknya. Nggak pake difikir. Kebiasaan kita ngomong dulu, baru difikir. Kenapa?

Karena sekali lagi, taqdir nulis kita punya miliaran peluang minta maaf, minta ampun. Peluang ini yang akhirnya menggampangi manusia untuk nyoba dosa.
Setelah tahu dosa itu gurih, maghfirah jadi rutinitas yang kita pelihara sampai bubur berkerak. Astaghfirullah.

Asapku bergulung-gulung menantang awan. Sekelebat meteor melesat di atas sana. Aku bergumam: “Ah, rezeki.” Hush.., aku terkejut sendiri dengan gumamanku.
Spontanitas yang ter’ajar’kan oleh kebiasaan sejak kecil memang luar biasa. Melekat, malas lepas dari dinding memori kita. Benar kata Allah, orang tua dapat membawa anak-anaknya ke neraka jahanam. Didikan orang tua adalah pengalaman pertama si jabang remaja untuk masuk ke wilayah coba-coba.

Kalau negara kita banyak koruptor, jangan salahkan hierarki kepemimpinan, yang memberikan peluang berkorupsi, salahkan orang tua kita. Kok tega-teganya ngajarin kalau korupsi itu gurih.
Sampai kapan muncul orang tua yang minimal mengajarkan pada kita bahwa kebajikan, kearifan, kesalehan, kejujuran, keyakinan pada kebenaran adalah milik kita yang sesungguhnya.

Yang buruk-buruk bukan punya kita.


Ngapain repot-repot berebut tulang kodok, kalau daging sapi ada di depan kita. Tinggal kunyah, nikmati, dan ‘glek’ telan. Urusan bagaimana perut menggilingnya, biar mekanisme anatomi yang ngerjain.


Jangan mikir yang susah-susah sampai lupa baca Bismillah. Jangan mikirin kenapa kok gigi nggak tumbuh di pipi kita. Biarin aja. Tapi yang patut kita fikirin adalah bagaimana cara merawat gigi agar tidak sembarangan ngegigit barang haram. Sok tahu!


Benar. Untuk hal-hal ini sok tahu memang perlu. Kan nggak bayar. Cuma butuh ketelatenan dan kesabaran.


Yang bayar itu sekolah. Kalau menuntut ilmu nggak bayar. Kata orang bijak ilmu ada dimana-mana. Salah satunya di we-se. Makanya kalau beol bawa buku. Baca sampai lupa sama bau.
Lagi pula, apa sih bau? Orang sumber bau ada di perut kita. Jangan sok ah! Coba kita cium mulut kita pas bangun tidur. Taik naga aja kalah bau. Tega-teganya mengkambinghitamkan bau. Kita ini sumberdaya bau. Dari bau mulut, bau ketek, bau badan, bau kentut dan bau-bau lain yang punya makna minor. Kalau kita mau jadi orang bijak, lebih baik mikirin potensi bau untuk kita produksi jadi sesuatu yang berharga. Misalnya, bau kentut kita suling jadi pupuk jenis liquid. Kan membantu petani.

Kasihan petani kita. Padahal hanya petani yang patut disebut manusia yang paling produktif. Dari tangannya tanah, air dan udara jadi sumber makanan yang kelak membuat kita takut mati.


Aku mulai penat.
Aku mau menghabisi renunganku, tapi kulihat baru halaman tujuh. Dua halaman lagi biar pas sembilan. Kenapa sembilan? Nggak tahu aku suka angka itu, sembilan. Semua perkalian dengan jumlah angka sembilan tetap sembilan. Kecuali angka nol. Angka sembilan sangat anti dengan nol. Karena nol angka kosong, nggak potensial. Dia baru berharga apabila digandeng dengan angka lain. Contohnya satu juta, dua ratus miliar. Gara-gara itulah si nol ini tanpa sadar telah membidani kelahiran koruptor, rentenir, penipu, dan pe-pe lain yang berkonotasi pada keserakahan duniawi. Nol telah menipu miliaran manusia di dunia ini. Aku tidak mau.

Persetan dengan nol.. Atau nol itu memang setan? Bodo amat.


Nah, sebentar lagi halaman sembilan muncul. Berarti aku harus cepat pulang. Takut ketinggalan subuh.


Kalau aku pulang, renungan ini the-end. Lantas kesimpulannya apa? Nggak ada.
Nggak ada kesimpulan, nggak ada konklusi atau penutup. The end ya tamat atau selesai.

Kalau merasa nggak puas nulis saja sendiri. Seenak perut. Nggak usah takut sama ketakutan. Jangan tampakkan kegoblokan kita, walau pada bulu hidung kita sendiri.


Kegoblokan memang bego. Sampai kapan kegoblokan mau belajar pinter?


Nggak bakalan bisa selama otak kita tumpul. Malas berterus terang pada keutuhan makna. Sejelek-jeleknya computer bisa mengerti kemauan kita.


Contohnya tulisan ini.
Aku pingin halaman sembilan, toh dituntun, pada akhirnya sampe juga. Nah, ini yang kita kenal dengan sabar. Yaitu telaten melewati apa saja yang harus dilewati. Tak perduli orang mau bilang Mas Ren ini orang yang paling goblok sedunia. Masa nulis nggak ada juntrungannya. Apa aku perduli? Nggak tuh. Sebodo teing. Kan sudah kubilang, aku lagi rindu absurditas manusia, ya aku kompromi sama langit.

Aku terbaring kaku, mati suri. Bukan, cuma terlentang menatap langit.
Langit ngomong semaunya. Aku pecundang, dan untaian gambar terus berputar dengan durasi yang tak lagi sempat kuhitung.

Kerlip bintang sesekali memberikan jedah pada langit yang malam ini betapa sombong mempermainkan kegalauan di hatiku.


Tamat.


Kuselesaikan tulisan tak bermakna ini pada halaman sembilan jam 03.35 pagi, Minggu 15 Februari 2004 di Brunei Darussalam.


(Dilarang mengutip, mengedarkan dan mem-plagiat tulisan ini kecuali aku. Udah mo ikutan gila...? Selamat pagi Nusantara)


Renny Masmada



















































































Jumat, 13 November 2009

kebudayaan sebagai akar peradaban

KEBUDAYAAN SEBAGAI AKAR PERADABAN
Menggugah Kesadaran Generasi Muda Terhadap Pentingnya Pembangunan Moral Melalui Akar Budaya Bangsa Berhadapan dengan Heterogenisasi Kebudayaan dan Peradaban Bangsa Lain



oleh Renny Masmada


Jepang, sebagai economic superpower Jepang, sebagai economic superpower